link : Islam Nusantara Meretas Pemahaman Yang Demokratis
Islam Nusantara Meretas Pemahaman Yang Demokratis
Oleh: Ubaidillah Achmad
KOLOM, ARREHMAH.CO.ID - Paradigma Islam Nusantara bersumber dari teks abad pertengahan dan kearifan lokal. Islam Nusantara merupakan hasil pribumisasi Walisongo yang dilanjutkan para Kiai NU. Tujuan dari paradigma Islam Nusantara, untuk membangun keberagamaan yang remah terhadap lingkungan dan kemanusiaan, baik secara vertikal maupun horizontal.
Islam Nusantara tidak hanya berada pada garis lurus secara vertikal, namun juga menekankan arti penting berjalan pada garis lurus secara horizontal. Pada garis horizontal Islam Nusantara dapat berfungsi: pertama, menjadi paradigma gerakan pencerahan dan pembebasan kepada umat manusia. Kedua, menjadi penanda para pemeluk agama, Islam menerima kearifan lokal, menerima perbedaan pandangan dan keyakinan terhadap agama yang diikutinya. Ketiga, menjadi benteng pribumisasi Islam melawan kelompok kepentingan yang akan memanfaatkan konflik agama sebagai instrumen merebut kehendak kuasa.
Sehubungan dengan fungsi yang ketiga di atas, menunjukkan arti penting Islam Nusantara bagi bangsa Indonesia. Hal ini terbukti tidak ada konflik keberagamaan yang bersifat masif, yang terjadi di Indonesia. Di Indonesia adanya perbedaan paham keberagamaan belum sampai pada konflik berdarah atas nama agama. Tentu saja, berbeda dengan konflik agama yang mengisi sejarah kawasan Arab pasca wafat Rasulullah, Nabi Muhammad.
Dalam sejarah agama agama, di luar teks Islam Nusantara, agama dan permodalan sudah menjadi media perebutan mereka yang ingin menguasai sistem kekuasaan. Karenanya, banyak para pemangku kepentingan yang selalu mendekatkan diri kepada umat beragama dan para tokohnya serta mereka yang menguasai permodalan. Dalam situasi seperti ini, juga akan muncul di tengah keberagamaan umat beragama, seorang agamawan yang mendekatkan diri kepada para penguasa dan kepada para pemilik modal.
Sehubungan dengan kondisi real keberagamaan di atas, maka sering muncul agama dan umat beragama menjadi korban kelompok kepentingan. Karenanya, di tengah aktivitas keberagamaan dan konflik agama di tengah relasi kuasa kekuasaan, diperlukan pandangan yang sehat dalam beragama dan bermasyarakat. Artinya, sebagai umat beragama perlu memahami ajaran agama untuk kebutuhan ritual umat beragama dan memahami ajaran agama untuk kebutuhan sosial umat agama.
Dengan adanya kondisi real perkembangan sejarah agama dan manusia ini, maka paradigma Islam Nusantara dapat menjadi konsep keberagamaan yang dapat ditawarkan kepada umat Islam dan negara negara yang berpenduduk mayoritas Islam. Secara mendasar, konsep Islam Nusantara menegaskan, bahwa agama tidak hanya dapat dipahami dari aspek normatif untuk kebahagiaan hidup dan ketenangan bathin, namun juga dapat dipahami dari aspek kesejarahan (historis), antara umat Islam relasinya dengan harmoni masyarakat sosial.
Jadi, Islam Nusantara tidak hanya mencatat, bahwa Islam merupakan agama wahyu yang langsung bersumber dari Allah. Namun Islam, juga harus dipahami sebagai agama yang sudah berlangsung mengiringi sejarah manusia. Karenanya, model perkembangan keberagamaan umat Islam memiliki konsekuensi makna kesejarahan dalam perkembangan peradaban dunia.
Sehubungan dengan perkembangan Islam Nusantara ini, secara spesifik dapat dikaji melalui dua pertanyaan berikut: Apa saja unsur relasi yang mendasari bangunan Islam Nusantara? Bagaimana konsep Islam Nusantara membangun pandangan dan sikap demokratis umat Islam?
Islam Nusantara: Wahyu, Kiai, Dan Masyarakat NU
Islam Nusantara mencatat teks yang memuat: rahasia syahadah, normatifitas dan historisitas kewahyuan Al Qur'an dan Hadis. Kedua teks ini dapat mencerahkan individu, namun juga dapat didistorsi pihak yang berkepentingan untuk menjadi sumber konflik agama dan kemanusiaan. Yang menjadi persoalan, adalah bahaya dari model membaca para pembaca pemula, yang belum banyak mendapatkan pemahaman tentang cakupan makna teks kewahyuan sudah terdoktrin oleh kelompok radikal dan intoleran.
Karenanya, dalam studi agama tidak bisa hanya menerima makna teks agama yang menafsirkan terhadap wahyu dari satu sumber, karena jika hanya membaca dari satu sumber besar kemungkinan akan terjadi pembelokan makna untuk kehendak kuasa. Pembaca yang baik harus memahami latar belakang penafsir teks agama yang berbeda beda. Jika pembaca tidak memahami penafsir dan tidak memahami latar belakangnya, maka akan mudah terjangkit virus klaimisme dan fanatisme terhadap keterbatasan pengetahuannya. Hal ini berdampak pada sikap radikal yang bersumber dari pemahaman dangkal dan tidak demokratis. Selain itu, akan dapat mempengaruhi konflik keberagamaan dan kearifan lokal.
Fenomena konflik ini, telah dilansir pada hasil penelitian (2016) Yuliyatun, Dosen STAIN Kudus, bersumber dari laporan yang dilansir pada Desember 2013, Robert Fisk, jurnalis dari The Guardian melaporkan bahwa Al Qaida Suriah (Jabhah Al Nusra) telah menghancurkan situs-situs bersejarah. Patung penyair Abu Tammam Habib ibn Aws di Daraa diledakkan, patung penyair al-Ma’arri, dipenggal kepalanya. Patung Harun Al Rasyid di Raqqa pun tak luput dari ‘pembantaian’ mereka. Makam Hujr ibn Adi (salah satu sahabat Rasulullah SAW) di pinggiran Damaskus dibongkar. Sebatang pohon tua berusia 150 tahun di kota Atmeh pun menjadi korban: ditebang habis. Alasan penebangan pohon ini, karena sudah jadi sesembahan warga.
Dari penelitian ini, telah disimpulkan, bahwa sikap radikal karena kedangkalan berfikir, seperti kemunculan sikap Taliban menghancurkan patung Buddha di Bamiyan, rezim Saud membongkar bangunan kuno di Mekah, para ‘Islamis’ menghancurkan makam di Pakistan dan naskah kuno di Timbuktu’, yang berada di Mali, Afrika utara. Pada awal tahun 2013, Al Qaida membakar jutaan naskah kuno di perpustakaan di Timbuktu.
Pada bulan Januari 2014, ada oknum umat Islam yang menghancurkan perpustakaan kuno di Lebanon. Februari 2015, ISIS membakar 8000 manuskrip kuno di perpustakaan Mosul. Selain itu, masih banyak gerakan serupa yang bersumber dari radikalisme kedangkalan berfikir, seperti gerakan Al Qaida Suriah, gerakan Taliban, Islamis di Timur Tengah dan di Pakistan, HTI, FPI, FUI di Indonesia.
Bagaimana dengan perkembangan sunni nahdliyyin? sunni nahdliyin, adalah gerakan Kiai dan masyarakat NU yang merujuk pemikiran Ulama abad pertengahan yang masyhur yang mengakui keabsahan para sahabat dan para tabi'in yang masyhur, mereka ini dapat mempertanggungjawabkan secara ilmiah, bagaimana proses penarikan sebuah hukum secara kontekstual atau hukum yang tidak hanya dipahami secara hitam dan putih. Penarikan hukum secara kontekstual ini disesuaikan dengan kondisi dan realitas perkembangan masyarakat nusantara.
Kontekstualisasi hukum Islam di tengah perkembangan Islam nusantara ini, telah memastikan Islam bukan milik masyarakat Arab. Namun demikian, Nabi Muhammad, telah menunjukkan fungsi risalah kenabian terhadap kearifan lokal dan Islam yang ramah terhadap lingkungan lestari. Dasar dari risalah kenabian ini lebih menekankan arti penting akhlak. Akhlak Al Karimah, adalah konsep berpandangan dan berperilaku yang baik dan santun yang didasarkan pada prinsip etik universal dihadapan Allah dan lingkungan hidup, termasuk antar sesama umat manusia. Akhlakul karimah Nabi dapat diterapkan pada semua situasi dan kondisi agama dan budaya masyarakat.
Dalam teks wahyu, Al Qur'an, tidak ditemukan penjelasan tata cara dan model pergaulan dengan lingkungan pada suku, kelompok yang berbeda agama dan budaya. Meskipun demikian, akhlak al karimah Nabi Muhammad berlaku secara universal dan dapat diterapkan pada semua kondisi lingkungan masyarakat. Dasar universalitasnya, bahwa keutamaan, kebaikan, keperpihakan kepada yang lemah (siapa pun dan dari latar belakang apa pun), adalah sikap yang mulia dan luhur.
Sehubungan dengan prinsip akhlak al karimah di atas, telah membuat walisongo dan Kiai NU lebih leluasa melakukan kontekstualisasi atau pribumisasi Islam nusantara. Gerakan pribumisasi walisongo ini diabadikan dalam tradisi pesantren, sehingga pola interaksi para Kiai lebih mengedepankan sikap yang santun antar sesama umat manusia. Para Kiai lebih mengedepankan sikap harmoni dalam bingkai kebhinekaan atau keragaman.
Berikut ini, hasil dari penelitian Yuliyatun, dosen STAIN Kudus tentang beberapa keutamaan Kiai NU: pertama, melakukan pelayanan kepada umat. Kedua, membangun sikap saling mencintai dan menyayangi sesama umat manusia, baik sesama warga nahdliyyin, umat Islam dan sesama umat yang berbeda agama. Prinsip sikap yang seperti ini telah tertanam melalui pengembangan prinsip ukhuwah (persaudaraan): sesama umat Islam, sesama warga negara, sesama umat manusia. Ketiga, meneguhkan prinsip kebenaran dengan sistem memberikan tauladan yang baik (modeling).
Sehubungan dengan pandangan dan perilaku masyarakat NU dipengaruhi adanya filosofi bermadzhab para Kiai NU. Filosofi bermadzhab dapat dibaca pada bermadzhab Karya KH. Hasyim Asy’ari (1287H-1366H): pertama, menjadikan ulama salaf sebagai pedoman dalam mengetahui, memahami, dan mengamalkan syariat Islam secara benar. Mereka ini, adalah para sahabat, Ahl As Syuffah, Ahl Badr, Al Ulama Al Amilin yang memiliki karya besar yang bermanfaat bagi pembaca, serta mengamalkan ilmu yang diketahuinya.
Dalam penelitian Yuliyatun, juga dijelaskan, bahwa metode KH. Hasyim Asy'ari menjadikan madzhab sebagai pedoman dengan cara menjelaskan pendapat yang unggul dari pendapat lain yang serupa, menyendirikan persoalan yang khusus (takhshish) dari yang umum, membatasi yang muthlaq dalam konteks tertentu, menghimpun dan menjabarkan pendapat yang berbeda dalam persoalan yang masih diperselisihkan serta menjelaskan alasan timbulnya hukum yang demikian.
Selain itu, KH. Hasyim Asy'ari, juga memilih madzhab golongan terbesar (as-Sawad al-A'zham), yang memiliki integritas, loyalitas agama dan amanah moral, baik secara eksplisit maupun secara implisit, serta memelihara pendapat secara bertanggung jawab. Para Ulama madzhab di atas, adalah para ulama ahli tahqiq (penelitian) yang menekuni kajian terhadap pemikiran para ulama salaf, yang gigih melakukan ijtihad secara ilmiah.
Meretas Pemahaman Yang Demokratis
Dalam lingkungan masyarakat, pandangan dan perilaku individu dapat dipengaruhi oleh sosok yang menjadi model. Sosok yang menjadi model (modeling) ini sering disebut dengan sebutan Kiai, yaitu sosok yang mempengaruhi adanya prinsip, pandangan dan perilaku hidup. Dalam tradisi NU, Kiai memiliki peran berikut: pertama, menjadi sistem modeling prinsip aswaja an nahdliyyah. Kedua, menguatkan eksistensi keberadaan umat Islam dan warga NU untuk menjaga ahlakulkarimah.
Karenanya, tidak ditemukan di lingkungan warga NU yang memberikan kesepakatan keberagamaan berupa sikap intoleran. Misalnya, sikap menghujat, menganggap sesat, mengafirkan terhadap komunitas Muslim Indonesia di pelbagai media, baik buku, majalah, mailing list, dan weblogs. Sebenarnya, Kiai NU dan warga NU masih banyak mengalami perbedaan, karena adanya beragam pandangan tentang penarikan hukum Islam yang relevan dengan tradisi, adat, dan kearifan lokal. Namun karena perbedaan ini didasarkan pada dalil dan teks yang sama sama dianggap kuat, maka di antara Kiai NU sendiri bisa saling menghargai dan menghormati. Ada istilah yang sering muncul di tengah perbedaan para Kiai, yaitu adanya perbedaan umat itu, adalah (bagaikan kehadiran) sebuah rahmat (yang agung dari Allah).
Selain itu, perbedaan yang dialami oleh para Kiai, adalah perbedaan yang didasarkan pada teks hukum hasil ijtihad ilmiah para Ulama, sehingga akan mempengaruhi para pembaca yang cerdas dan memiliki perspektif yang dipengaruhi oleh teks yang menjadi bacaannya. Misalnya, perspektif demokratis Kiai dan warga NU, telah terbuka terhadap pemahaman dan penafsiran yang didasarkan pada latar belakang mufassir.
Hal ini menjadi budaya para kiai, tidak mudah menuduh kafir, dlalalah, musyrik, dan kurafat terhadap sesama umat Islam. Sikap terbuka para Kiai didasarkan pada pemahaman, bahwa manusia akan mengalami proses pemahaman dan tindakan yang ”menyejarah”, yang selalu terkait ruang dan waktu. Karenanya, pemahaman dan cara berfikir para mujtahid dapat disampaikan dan direinterpretasikan dalam konteks kekinian. Hal ini bertujuan untuk menjawab problem masa lalu dan masa kini. Sukses dan selamat untuk gerakan masyarakat NU yang terus menyejarah untuk mengawal nusantara, Indonesia rumah bersama.
Ubaidillah Achmad, penulis Islam Geger Kendeng, Suluk Kiai Cebolek, Khadim Majlis Kongkow PP. Bait As Syuffah An Nahdliyah Sidorejo Pamotan Rembang.
Editor: Khayun Ahmad Noer
Terima kasih Sobat sudah berkenan membaca :
Islam Nusantara Meretas Pemahaman Yang Demokratis
Baru saja selesai dibaca: Islam Nusantara Meretas Pemahaman Yang Demokratis link sumber: https://musilmislam.blogspot.com/2017/09/islam-nusantara-meretas-pemahaman-yang.html
0 Response to "Islam Nusantara Meretas Pemahaman Yang Demokratis"
Posting Komentar