link : KH. A. Tamamuddin Munji: Mempertahankan Tradisi Pendampingan Versus Neoliberalisme
KH. A. Tamamuddin Munji: Mempertahankan Tradisi Pendampingan Versus Neoliberalisme
KHAZANAH ISLAM, ARRAHMAH.CO.ID - Berikut hasil diskusi Lingkar As Syuffah yang bertema, "Agama dan Budaya Masyarakat Versus Neoliberalisme". Dalam tulisan singkat ini, semula penulis ingin berbicara secara lebih umum dengan menggunakan kata masyarakat santri versus neoliberalisme, namun karena alasan ada fokus kajian yang lebih spesifik, maka menjadj judul ini, yang mencatat semangat perlawanan masyrakat kendeng dan sekitarnya mempertahankan hak petani melawan neoliberalisme.
Dalam konteks keindonesiaan ideologi neoliberalisme ini bertentangan dengan prinsip ideologi Pancasila. Kesadaran keindonesiaan masyarakat Kendeng inilah yang menguatkan berani mempertahankan ideologi Pancasila untuk mengkritisi oknum institusi yang memperlihatkan keberpihakan pada ideologi neoliberalisme.
Sehubungan dengan semangat masyarakat Kendeng ini, penulis telah merasakan apa yang pernah dipesankan oleh Kiai Tamam sebelum gerakan Kendeng bergolak, bahwa masyarakat kendeng memerlukan teman sharing yang dapat menjawab problem berkurangnya lahan pertanian dan terancamnya pegunungan kendeng versus neoliberalisme. Hal ini disampaikan oleh Kiai Tamam seiring adanya beberapa tamu masyarakat Kendeng yang menceritakan kondisi kendeng kepada penulis berhadapan dengan industri pemodal.
Ketika penulis menceritakan akan menengok masyarakat Tegaldowo, penulis menerima pesan dari Kiai Tamam, agar tidak terlalu jauh turut berada dalam konflik kepentingan. Tugas yang perlu penulis lakukan, adalah menguatkan mental atau mengembalikan keseimbangan masyarakat di tengah persoalan antara masyarakat pro dan tolak industri. Jika perlu bisa menghilangkan istilah pro dan kontra, biar kembali lagi menjadi masyarakat desa yang harmonis.
Selain itu, Kiai Tamam menegaskan perlunya konsistensi penulis untuk tetap menjaga lingkungan lestari dan bersih. Alasannya, lingkungan lestari merupakan fundasi kelangsungan ekologis dan keseimbangan kosmologis.
Quo Vadis: Sikap Pemerintah?
Sehubungan dengan Neoliberalisme yang tetap bertahan di tengah masyarakat kendeng, telah berupaya agar melakukan pertambangan. Hal ini, bertujuan untuk mendirikan industri Semen yang akan memproduksi hasil pertambangan di Tegaldowo Rembang. Fenomena ini harus disikapi dengan hati hati, jernih, dan tetap semangat bersama masyarakat yang memungkinkan akan menjadi korban kepentingan. Misalnya, kepentingan kapital dan para "pekerja" sosial.
Dalam sikap kehati hatian ini, penulis tetap bersikap agar tidak ada industru semen di Rembang. Alasannya sangat sederhana, yaitu setiap pertambangan di kawasan pegunungan akan mengikis pegunungan dan merusak ekologis. Meski demikian, penulis dipesan oleh Kiai Tamam, agar penulis menyampaikan tema bahaya pertambangan terhadap lingkungan lestari, harus sesuai kondisi di lapangan supaya tidak menghadapi benturan dan membenturkan masyarakat dengan kelompok kepentingan, baik di dalam struktur maupun di luar struktur.
Sehubungan dengan inj, maka pemerintah perlu mengkaji problematika yang secara langsung dirasakan masyarakat pegunungan kendeng. Misalnya, problem kepemilikan tanah yang kecil, minimnya modal dan tekhnologi, kepastian pasar produk hasil pertanian. Problematika masyarakat kendeng ini, tidak lepas dari penguasaan tanah zaman kolonial dan sistem ekonomi Neo-kolonialisme dan Neo-liberalisme. Sistem ekonomi ini berimplikasi pada keterbatasan kepemilikan petani atas tanah yang digarap.
Jika dilihat dari skala nasional, Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengungkapkan hanya 0,2% penduduk negeri ini menguasai 56 persen aset nasional yang sebagian besar dalam bentuk tanah. Sementara 85% rumah tangga petani di Indonesia adalah petani gurem dan petani tak bertanah. Selain itu, modal usaha ini juga tidak mudah didapatkan para petani untuk mendukung produktifitas lahan pertanian tradisional di Pedesaan. Sudah seharusnya, pemerintah memikirkan modal dan teknologi para petani, sehingga dapat mencegah dampak minimnya produktifitas Petani di Indonesia.
Pemerintah, juga harus membantu faktor produksi pertanian yang membutuhkan kepastian harga komoditi pertanian dan pasar produk hasil pertanian. Pemerintah tidak boleh membiarkan para petani yang sudah jatuh tertimpa tangga, misalnya adanya kepentingan neoliberalisme yang meliberalkan impor hasil pangan. Hal ini, yang menyebabkan produk pertanian petani bersaing dengan produk petani asing yang murah dan berkualitas lebih baik dari hasil petani Indonesia.
Dari kajian berskala nasional di atas, penulis mencermati kondisi masyarakat desa di lingkungan pegunungan kendeng tersebut, maka perlu semangat para pendamping sesuai dengan bidang keahliannya masing masing, yaitu untuk tetap gigih memberikan pendampingan kepada masyarakat, tidak hanya dalam perspektif ekonomi dan politik, namun juga perlu memberikan pendampingan melalui agama dan budaya masyarakat.
Beberapa hal penting yang menjadi pesan Kiai Tamam terkait dengan model pendampingan kepada masyarakat, bahwa masyarakat itu idak dapat mengabaikan peran dari para tokoh agama untuk menguatkan mental masyarakat versus neoliberalisme. Hal ini yang akan menguatkan peran Kiai memberikan pendampingan kepada masyarakat versus kuasa pasar permodalan. Pasar permodalan ini dalam bahasa Adam Smit akan menguasai pasar dunia, tidak terkecuali agama, juga akan dikuasai sistem permodalan.
Masyarakat Kendeng Versus Neoliberalisme
Masyarakat Kendeng terus menyuarakan perlawanannya terhadap Neo-Liberalisme, karena memaksakan program yang akan merugikan kaum petani atau masyarakat miskin desa. Misalnya, apa pun bentuk pertambangan akan merusak sistem ekologis kesemestaan. Meskipun demikian, neo-liberalisme terus mempengaruhi cara berpikir petani dan bagaimana petani bertindak dalam ranah kehidupan sosial-politik-budaya,
Masyarakat Kendeng melakukan perlawanan terhadap Neo-Liberalimse, karena akan menghadapkan masyarakat petani dan miskin desa pada ekonomi pasar, privatiasi, deregulasi, dan liberlisasi. Namun demikian, tidak mudah mrlakukan perlawanan kepada neoleberalisme, karena masyarakat petani harus keluar dari kerangkeng wacana ekonomi semata-mata. para petani harus mandiri di bidang ekonomi. Karenanya, tugas dari para pendamping sosial atau para pencerah agama untuk mampu mempotensikan masyarakat kendeng memahami kehendak permodalan atau teori Neo-Liberalisme.
Kehendak permodalan dalam teori meoliberalis memiliki bidang sasaran ideologisasi: ekonomi, politik, budaya, dan agama. Dari keempat bidang ini yang sulit dikendalikan oleh neoliberalisme, adalah bidang agama dan kebudayaan. Jika membaca lingkungan masyarakat agamis, maka lebih menggantungkan pada semangat dalam bidang pertanian, keputusan Allah dan kemandirian para pendamping yang bersumber dari nilai ajaran agama.
Sedangkan, dalam bidang kebudayaan, masyarakat sudah bertahan pada sistem nilai budaya yang membentuk kearifan hidup sesuai dengan lingkungan masyarakat. Karenanya, tidak mudah merubah pola pikir masyarakat berbudaya. Masyarakat berbudaya ini, masih bertahan secara eksistensial di tengah kekuatan neolibrelisme, politik kekuasaan, dan agama kekuasaan.
Keberlangsungan masyarakat kendeng, juga dapat dilihat dari sikapnya yang tetap bertahan membentuk kesadaran kritis, sehingga mampu membentuk kesadaran pemerintah dan kapitalis untuk berhati hati memutuskan persoalan kendeng. masyarakat kendeng, telah berhasil mengembalikan tata nilai yang dikonstruksi dari semangat petani versus penguasa dan kapitalis. Komunitas masyarakat kendeng ini, telah menemukan signifikansinya sebagai aktor perlawanan terhadap Neo-Liberalisme.
Diskursus tentang neoliberalisme ini, merupakan diskursus yang menghangat kembali setelah berakhir era developmentalism. Era ini meruapakan proses perubahan sosial pasca Perang Dunia dua yang didasarkan pada landasan modernisasi. Paham Neolib berupaya mengambil momentum akhir era developmentalisme untuk mempercepat kemajuan kapitalisme pasca krisis tahun 1930-an. (Mansour Fakih. Jalan Lain; Manifesto Intelektual Organik, Yogyakarta: Insist Press, 2002. Hlm. 184).
Neoliberalisme bermula dari aliran ekonomi liberalisme yang bersumber dari karya Adam Smith. Pada tahun 1976, Filsuf moral asal Inggris ini, lebih populer disebut sebagai perumus kapitalisme modern, yang menolak intervensi negara atau pemerintah dalam mekanisme ekonomi. Smith membuat propaganda sebaiknya pemerintah membiarkan mekanisme pasar bekerja dengan logika pasar bukan logika pemerintahan.
Sehubungan dengan kehendak pasar ini, Smith memperkuat mekanisme pasar dengan cara cara berikut: pertama, menciptakan semangat Kompetisi. Kedua, kemandirian individu dalam mekanisme pasar. Ketiga, menguatkan pasar dengan kehendak “tangan-tangan tersembunyi” (invisible hand). (Khudori, Neoliberalisme menumpas petani, Yoyakarta, Resist Book, 2004, Hal 16 ). Keempat, memperkuat paham pluralisme sosial dan politik. Kelima, memperkuat model kebebasan politik.
Mekanisme pasar negara yang menganut sistem ideologi kapitalis ini akan mempengaruhi stabilitas demokrasi setiap negara transisi yang berintegrasi dengan ekonomi, politik, dan budaya. Hal ini ditandai dengan tren istilah “Modernizatioan via internationalization”. Karenanya, jika negara transisi tidak hati hati membaca keserakahan neoliberalisme, maka akan memberangus kearifan lokal dan budaya kecil serta keberagamaan masyarakat melalui periklanan yang mengarah pada konsumerisme.
Visi Agamawan, Intelektual Dan Pekerja Sosial
Dalam konteks demokrasi dan arti penting kebebasan berpendapat, kemunculan neoliberalisme memiliki plus minus sama seperti sosialisme. Hanya saja, neoliberalisme sudah tidak lagi mempertimbangkan masyarakat miskin desa, pantai, dan kota. Kedua paham ini sama sama menguatkan diskursus bagaimana membentuk kesadaran kritis masyarakat. Artinya, membentuk kesadaran kritis masyarakat tanpa memberikan peluang masyarakat di tengah pola hidup penuh kompetitif. Hal yang sama, juga berlaku bagi ideologi ideologi dunia yang lain.
Oleh karena itu, bersamaan dengan perkembangan ideologi ideologi dunia, pada akhirnya adalah prinsip kehendak kuasa. Fenomena ini memerlukan pendampingan dari agamawan, intelektual dan pekerja sosial yang benar benar membebaskan dan mencerahkan mereka yang menjadi korban relasi kuasa yang tidak seimbang. Semua ideologi dunia memerlukan pengawalan dan kritik. Jika ideologi tanpa kritik, maka akan mengkhawatirkan lingkungan kemanusiaan. Misalnya, banyak kisah pilu dunia ketiga yang menjadi korban neoliberalisme, melalui IMF, bank Dunia, WTO dan bursa saham.
Dalam situasi seperti ini, banyak sikap intelektual yang tidak peduli terhadap masyarakat yang terpinggirkan, yang disebut Gus Dur, sebagai intelektual tukang. Fenomena ini, dalam pandangan Kiai Tamam, memerlukan semangat para pelaku pendidikan pesantren, untuk membuat sistem pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis dan konstruktif. Kedua kesadaran ini, akan memperkuat upaya pembebasan para agamawan dan aktivis kemanusiaan kepada masyarakat di tengah relasi kuasa yang tidak seimbang versus dehumanisasi, eksploitasi, dominasi gender, dan hegemoni budaya negara adidaya.
Meskipun masyarakat kesulitan untuk mendapatkan para subjek pendamping, namun bersamaan dengan perkembangan zaman, selalu bermunculan para pendamping pengganti, yang gigih melakukan pendampingan sosial. Hal ini, secara turun tenurun masih bertahan dalam tradisi pesantren. Sebagaimana ditegaskan oleh Kiai Tamam, keistimewaan Kiai Pesantren tidak hanya dilihat dari aspek pembelajaran kitab kuning, namun yang lebih mendasar, berupa kesabaran Kiai melakukan pendampingan kepada masyarakat di tengah relasi kuasa dan kuasa neoliberalisme.
Kiai Tamam mencontohkan kondisi Kiai pesantren yang hanya beberapa santri, namun pada saat wafat, ribuan orang telah merasakan duka mengantarkannya. Hal ini, karena kegigihan para Kiai mempertahankan tradisi pendampingannya kepada masyarakat versus neoliberalisme yang tidak kenal ampun terhadap kondisi ekonomi, politik, dan kebudayaan masyarakat.
Ubaidillah Achmad, Penulis Islam Geger Kendeng, Suluk Kiai Cebolek, Dosen UIN Walisongo Semarang, Khadim As Syuffah Sidorejo Pamotan Rembang.
Terima kasih Sobat sudah berkenan membaca :
KH. A. Tamamuddin Munji: Mempertahankan Tradisi Pendampingan Versus Neoliberalisme
Baru saja selesai dibaca: KH. A. Tamamuddin Munji: Mempertahankan Tradisi Pendampingan Versus Neoliberalisme link sumber: https://musilmislam.blogspot.com/2017/05/kh-tamamuddin-munji-mempertahankan.html
0 Response to "KH. A. Tamamuddin Munji: Mempertahankan Tradisi Pendampingan Versus Neoliberalisme"
Posting Komentar