link : Saat Zakir Naik Membunuh Keimanan Muslim
Saat Zakir Naik Membunuh Keimanan Muslim
Saat Zakir Naik Membunuh Keimanan Muslim |
ARRAHMAH.CO.ID - Ketika beberapa umat Islam menyatakan kegembiraannya atas kedatangan Dr Zakir Naik, sebagian dari kita yang sudah pernah melihat aksi yang sama dilakukan oleh Ahmed Deedat, tentu saja tidak merasa heran. Dr. Zakir dikabarkan akan mengunjungi UMY Yogyakarta pada April lalu, namun sepertinya batal. Beberapa pihak Islam yang selama ini kehausan argumen untuk melawan pihak-pihak yang mengatasnamakan sains (Ilmiah), mendapatkan kabar gembira tentunya.
Dr Zakir dikenal dengan tafsir atas ayat-ayat Al-Qur’annya yang memiliki relevansi dengan kenyataan ilmiah dan pengetahuannya tentang kitab lain, yaitu Kitab suci Umat Nasrani (Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Bibel dll). Selain bahwa tafsirannya atas Al-Qur’an masih bisa diperdebatkan kembali (doi bukan nabi lho, inget), pengetahuannya tentang Kitab Suci Umat Nasrani memiliki dua implikasi. Pertama, adalah hal yang baik, bila seorang muslim mengkaji kitab suci diluar agamanya (menambah pengetahuan dan keimanan). Namun implikasi yang kedua cenderung negatif, sebab akan timbul hasrat-hasrat untuk membenar-benarkan kitab suci agamanya dan menonjol-nonjolkan kesalahan kitab suci agama lain. Inilah mengapa Dr. Zakir menjadi masalah.
Pendahulu Dr. Zakir Naik adalah Ahmed Deedat. Pria kelahiran India tahun 1918 ini harus hijrah menyusul ayahnya ke Afrika Selatan pada umur 9 tahun. Pengalamannya di Afrika Selatan hidup dilingkungan mayoritas Kristen di Pantai Selatan Natal. Saat bekerja di toko buku muslim, Deedat merasakan betul cemooh siswa-siswa sekolah Misionaris disana yang menghina keberadaan toko tersebut. Disitulah awalnya Deedat membeli AlKitab pertamanya dan memulai berbagai debatnya dengan siswa, para guru hingga pendeta disana. Setelah itu, Deedat memulai karir dakwah. Darimana? Dari pengetahuannya tentang beberapa “kesalahan” yang (menurutnya) dimiliki kitab suci agama lain, terutama Kristiani.
Inilah mengapa Dr Zakir Naik disebut-sebut sebagai penerus Ahmed Deedat, oleh sebab pengetahuannya yang luas tentang Alkitab (Kristiani). Saking luasnya, kita sering melihat rekaman ceramahnya yang sering mengutip Alkitab diluar kepala. Namun, apakah ceramah Dr Zakir Naik hanya persoalan syiar agama Islam, dakwah?
Dakwah: Diskusi, Debat, atau Dialog?
Tanya Kachwara dalam “Huang Nissan” membuat skema perbedaan antara Diskusi, Debat dan Dialog yang sengaja ditunjukan untuk Program on Intergroup Relation University of Michigan, 2007. Menurutnya, In Discussion we try to mencari jawaban dan solusi, In Debate we try to meraih kemenangan dan mencari kelemahan, In Dialogue we try to mencari kesepahaman dan memperluas perspektif yang kita miliki. Sebetulnya masih banyak poin yang disebutkan untuk tujuan-tujuan Diskusi, Debat dan Dialog, tapi beberapa ciri ini saja cukup menggambarkan, tentang apa yang dilakukan Dr Zakir Naik selama ini dalam ceramahnya.Dr Zakir (jelas) sedang melakukan Debat. Sebab sungguh banyak (dominan) persoalan “kelemahan agama lain” yang menjadi materi ceramahnya. Sebetulnya, persoalan kelemahan dalam Kristiani memang tidak sepenuhnya menjadi faktor pendorong kuat atau lemahnya iman seorang muslim. Naïf, bila memperkuat iman kita sendiri dengan menjatuhkan klaim keliru pada agama lain. Persoalan ini sudah ribuan tahun menjadi perdebatan di Eropa, dan kita tidak perlu mengulangnya kembali (perdebatan tersebut). Sebut saja, mengapa pada periode 500-1500 Masehi dinamakan Dark Age (abad kegelapan)? Sebab ada penguasaan Gereja (Agama Kristiani) yang terlalu besar terhadap seluruh aspek politik ekonomi budaya masyarakat Eropa—ilmu pengetahuan yang digambarkan sebagai cahaya cenderung tidak nampak sama sekali pada era tersebut. Periode peralihan yang disebut Renaisance pada 1500 Masehi hingga menuju momentum Reformasi Gereja Martin Luther 1600an Masehi menjadi bukti beberapa penolakan dan upaya intelektual Renaisance“mempertanyakan kembali” otoritas agama Kristiani. Bila memang kita harus mengulang cerita yang sama, sungguh beberapa argumen Dr Zakir Naik tentang kelemahan Kristiani bukanlah hal yang baru.
Hal yang sama sekali baru dalam metode dakwah impor kali ini adalah–dengan anggapan Dr Zakir sedang berdakwah–tentu yang paling menarik bahasa yang digunakan, bahasa Inggris. Bila kita kembali pada pembahasan awal penolakan masyarakat Eropa terhadap otoritas Gereja yang lebih dari 1000 tahun lamanya, yakni penolakan atas monopoli bahasa Alkitab juga mengenai persebaran teksnya. Hal ini pernah diungkapkan Ben Anderson dalam “Imagined Community”, saat menelaah akar-akar nasionalisme dan sejarah bangsa-bangsa. Ben menulis bahwa—Nasionalisme di Eropa lahir akibat–keberadaan Industri cetak dan penerjemahan Alkitab ke berbagai bahasa Negara-Negara Eropa mulai dilakukan oleh tokoh-tokoh Reformasi gereja sebagai bahasa perlawanan terhadap otoritas Katolik Roma. Salah satunya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Hegemoni Bahasa Inggris
Ada apa dengan bahasa Inggris? Sampai detik ini, bahasa Inggris tetap menjadi primadona dalam bahasa dagang Internasional, Pidato Politik antar Negara, akademis, dan tidak boleh lupa Negara Inggris pemilik koloni terbesar di Bumi. Mungkin saja penguasaan politik secara langsung oleh Kerajaan Inggris sudah mulai melemah sejak Perang Dunia Kedua dan setelah Perang Dingin dimulai, otoritas politik Barat cenderung dipegang oleh Amerika Serikat. Namun, yang masih sama adalah Amerika Serikat merupakan masyarakat berbahasa Inggris, meski kita menyadari ada perbedaan antara English British dan English American. Namun, dari perspektif seorang Indonesia seperti saya, semuanya sama-sama bahasa Inggris.Dr Zakir sebagaimana Ahmed Deedat, memakai bahasa Inggris sebagai bahasa ceramahnya. Mereka berdua hidup dilingkungan Koloni Inggris (India dan Afrika Selatan). Secara pribadi, saya menyukai Ahmed Deedat karena beberapa humornya tentang Hijab, seks, iklan televise, mobil dan berbagai perangkat tekno-kultural barat yang dibahas sebagai bagian dari ceramahnya. Ahmed Deedat mampu menarik perhatian masyarakat berbahasa Inggris dengan lingkungan sosial yang dihadapi peserta ceramahnya langsung maupun yang tidak langsung (rekaman). Yakni membahasakan ajaran Islam melalui kenyataan sosial penduduk berbahasa inggris. Ia mengerti cara membuat orang yang berbahasa inggris tertawa.
Sedikit berbeda, Dr Zakir ingin menafsirkan ajaran Islam melalui beberapa bukti Ilmiah (science), sebuah “habitus” (dalam istilah Piere Bourdieu) yang hidup dikenyataan akademis. Ilmiah, tidak hanya menjadi otoritas kebenaran semata, namun sudah menjadi perangkat kehidupan manusia abad 21. Oleh sebab itu, wajar bila kemudian, tafsir Al-Qur’an yang dikemukakan Dr Zakir Naik dengan beberapa bukti ilmiah sangat diminati masyarakat global. Namun apakah sesuatu yang disebut Ilmiah bebas nilai?
One Dimension Man adalah buku yang ingin menunjukan bahwa tidak ada yang namanya “Bebas Nilai”, begitulah salah satu gagasan yang diusung penulis, Herbert Marcuse. Sama artinya dengan Kedatangan Dr Zakir Naik ke Sebuah kota Pendidikan Berbudaya, pusat Intelektual pelajar di Pulau Jawa, sebuah pulau terpadat di gugusan Nusantara, dimana kita bisa menemukan orang Aceh sampai Papua ditanah tersebut, yang membuat para Indonesianis (peneliti asing) Mancanegara mengerurkan dahi–mengapa penduduk tersebut masih bertahan selama lebih dari 70 tahun mengakui diri sebagai orang Indonesia. Kita tidak bisa memakai narasi yang “lurus” bahwa secara tiba-tiba, Dr Zakir Naik datang ke Indonesia, Yogyakarta Khususnya, karena list dakwah yang dibuat olehnya sudah menunjukan bahwa Indonesia adalah panggung ceramahnya selanjutnya. Kita tidak boleh menafikan, seperti peringatan Herbert Marcuse sebelumnya, ada “Undangan” dan “diundang”. Kedatangan Dr Zakir Naik memiliki motif politik dan memiliki dampak politik juga. Sebab tensi politik dalam Negri akan semakin memanas di tahun-tahun mendatang. Tentu saja hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari situasi—meniru Soekarno ketika memetakan—politik lokal, nasional dan Internasional. Memang bagaimana peta politik Wacana Islam di Indonesia?
Ariel Heryanto yang cukup lama memperhatikan Islamisasi dalam masyarakat Modern Indonesia, dalam bukunya “Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia” ingin menunjukan bahwa dalam dunia perfilman-pun proses Islamisasi sudah dimulai. Terutama beberapa film yang sangat laris dari Catatan si Boy (ada adegan tasbih digantung di kaca spion dalam) hingga Ayat-Ayat Cinta. Namun, lebih dari itu, persoalan lebih pelik ketika identitas yang dibangun sebagai identitas Islam nyatanya, sarat identitas kultural maupun politis. Bahwa sesunguhnya, Islamisasi mengambil beragam bentuk kultural untuk dijadikan referensi identitas inheren.
Satu contoh K-Pop (Korean Pop) yang mempopulerkan “Boyband dan GirlBand” sebagai bagian perluasan kebudayaan Korea nyatanya adalah hasil kesatuan kerjasama antara koreografer, ahli music, teks lirik yang sama sekali bukan dari korea. Hal ini terjadi dalam Islam, sebagaimana identitas Islam, Hijab yang merupakan tradisi kultural Arab bahkan ada dalam tradisi budaya dan agama lain (Kristani ortodoks, Yahudi dan lainnya), janggut, tasbih, bedug, baju muslim, koko dan lainnya. Ketika materiil tersebut menjadi referensi identitas Islam. Sesungguhnya, tidaklah masalah bila kemudian, semua pihak mengambil referensi tersebut sebagai bagian identitas islam bagi kehidupannya. Namun persoalan kembali mengemuka ketika, beberapa pihak mengaku pemilik identitas islam yang murni. Sedangkan mereka yang diluar itu dianggap kafir dan bid’ah.
Politik Islamisasi Transnasional
Perdebatan identitas Islam sebenarnya terkait dengan sejarah Islam. Konteks sejarah tidak dapat dipisahkan, peristiwa hari ini lahir dari kontradiksi-kontradiksi—singkat kata—hasil masa lalu. Persoalan identitas Islam yang murni, terkait dengan persaingan politik juga aliran agama dalam Islam. Kombinasi keduanya, kini menuai beragam persoalan di Dunia, terlebih khusus persoalan di Dunia Arab sendiri. seperti perselisihan geo-politik Sunni dan Syiah di kawasan Arab. Hasilnya tunggal; darah, darah dan darah. Banyak gaung agar Islam bersatu—sedikit berhusnudzon—agar beragam perpecahan bisa diatasi. Sebutlah Jamaludin AL-Afgani yang pada abad ke-19 mengusung Pan-Islamisme atau gerakan persatuan dalam Islam.Anggap waktu berhenti sejenak pada peristiwa dikalimat terakhir di atas. Lalu kita kembali pada peta Politik Dunia. Sekarang ditahun 2016, wacana Persatuan dalam Islam sedang dikampanyekan. Wacana ini terlihat jelas dalam perangkat politik yang disebut “Khilafah”. Pengusungnya sudah jelas, pihak-pihak dalam tubuh islam yang menginginkan pemurnian dalam Identitas Islam juga ajarannya melalui persatuan politik yang disebut “Khilafah”. Di Indonesia, Wacana ini dibangun oleh Organisasi Masa HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)[1] dan Partai politik yang secara malu-malu kucing berkampanye lewat pengajian-pengajian, penyusupan kampus-kampus, masjid-mesjid; Partai Keadilan yang sudah sejahtera.[2]
Semua kampanye ini menjalar ke berbagai ranah, termasuk pasar informasi seperti media sosial. Informasi betapa perlunya masyarakat Indonesia memiliki “khilafah” dan menjalankan peraturan serta kebikajan syariah sudah mulai terjadi dan menjalar. Di Facebook, Twitter, WhatsUp dan lainnya melalui share informasi, pesan berantai yang lebih dikenal “copas dari grup sebelah”. Kita melihat agama dipaksa untuk menjawab seluruh persoalan di dunia. Padahal skema ideologis yang memaksa Agama, Islam, untuk menyajikan Islam sebagai mesin penjawab segala bisa adalah pihak-pihak yang juga hidup terikat didunia ini. Islam bukan mesin penjawab, dan dipaksa berbicara atau membela pihak-pihak tertentu. Agama Islam yang harusnya menjadi inti sebuah tindakan, kini menjadi corong-corong juru bicara para pemonopoli kebenaran Islam, yang mengaku memiliki ajaran paling Murni dari Islam.
Musuh terakhir yang sulit dikalahkan para penyerobot otoritas Identitas pemurnian Islam adalah pihak-pihak yang bisa membuktikan secara ilmiah, bahwa gagasan, ajaran, tauhid dan fiqih yang merasa “murni” tersebut adalah keliru, ahistoris dan tidak berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan. Dengan kemunculan Dr.Zakir, tentu saja “Mereka yang Murni” ini memiliki pembela baru dan ditunggu. Namun, sekiranya berlebihan bahwa Dr. Zakir yang manusia biasa bahkan bukan nabi, mampu menjawab segala pertanyaan dari penanya-nya. Kepercayaan diri, serta berbagai berita bahwa Dr. Zakir mampu menjawab semua pertanyaan, sama saja merendahkan Nabi Muhammad yang dalam beberapa kesempatan menunda pertanyaan-pertanyaan para sahabatnya. Apa kini umat Muslim sedang menunggu nabi baru? Please, jangan berlebihan deh.
Oh tunggu. Sepertinya penulis belum menjelaskan siapa Dr. Zakir Naik. Guna membuktikan tulisan ini bahwa pihak-pihak pendukung “Khilafah”, pemurnian ajaran Islam juga relevansinya dengan beberapa organisasi yang disebutkan diawal; PKS[3] dan HTI[4], memang sangat menunggu (sudah memuat berita kehebatan Dr Zakir Naik sejak tahun 2014 dan 2015)[5] kedatangan Dr Zakir untuk segera memberikan klaim saintifiknya, dan tak lupa untuk “berdebat” guna mengorek-ngorek Agama lain. Silahkan buka website Islam yang sering merendahkan pemerintahan Jokowi, mengusung berita Islam yang tersakiti, berita tentang bahaya Syiah, selalu menyerang tokoh Islam Moderat; Kyai Mustofa Bisri (NU), Quraish Shihab, Said Aqil Siraj dll dengan fitnah. Situs-situs website ini selalu memberi gambaran tentang Turki sebagai Negara Ideal untuk Indonesia. Nah, pada website-website dengan ciri-ciri diatas, pastilah, kita mendapatkan puja-puji pada Dr Zakir yang kelewat berlebih tidak pernah mereka lakukan, bahkan sekedar salawat Nabi Muhammad.
Mereka menunggu penceramah berbahasa Inggris ini, bahasa yang sudah memonopoli istilah Ilmiah, dan melupakan bahwa dalam kurun waktu lebih dari seribu tahun, para ulama menyebarkan syiar Islam melalui budaya, perkawinan, perdagangan, seni, musik dan tidak boleh lupa; Bahasa setempat. Apakah Dr Zakir akan memakai bahasa Sunda atau bahasa Padang, dan bahasa lainnya agar bisa sekaligus menyaingi prestasi ulama Islam yang tersebar di Nusantara dalam satu-dua sesi ceramah? Seandainya itu terjadi, ada baiknya kita menobatkan beliau sebagai nabi baru. Sebagai konsekwensi betapa berlebihannya kita mengagungkan sains untuk membela ayat-ayat Suci. Betul bahwa klaim saintifik sangat dibutuhkan bagi kalangan internal Islam untuk menghapus keraguan bahwa Islam tidak mampu menjawab persoalan-persoalan modernitas. Namun kiranya, memakai klaim saintifik untuk menafsirkan Ayat-ayat suci Al-Qur’an tentunya tidak sepenuhnya tindakan resistensi, namun Otoimunitas.
Klaim Sains sebagai Otoimunitas
Istilah ini diperkenalkan oleh Jaques Derrida, dalam buku yang berjudul “Filsafat dalam Masa Teror” ketika membongkar kerangka wacana politik Amerika Serikat setelah peristiwa 11 September 2001. Otoimunitas merupakan istilah biologis. Derrida mengungkapkan bahwa Peristiwa 9/11 (11 September 2001), adalah konsekwensi dari ekspansi politik Amerika di berbagai belahan dunia (Termasuk kawasan Timur Tengah/ Dunia Arab) yang disebut sebagai imunitas, dalam arti bahwa tindakan melindungi diri (sering disebut dengan Istilah Kepentingan nasional AS) secara otomatis (imunitas) memiliki resiko tindakan bunuh diri (Otoimunitas). Ikut campurnya Amerika Serikat dalam setiap pergolakan politik diberbagai kawasan dunia, berperan seperti polisi dunia, mengandung resiko ringkih, seperti serangan 9/11.Perangkat teoritis otoimunitas ini, berlaku juga bagi upaya menafsirkan Al-Qur’an dengan klaim saintifik. Bila pada awalnya klaim saintifik dipakai untuk membela kebenaran Ayat-Ayat suci (Imunitas), lalu bagaimana bila klaim saintifik menuju kodratnya, menjadi klaim yang tidak berlaku lagi kebenarannya (Otoimunitas)? Banyak klaim sains yang berakhir kebenarannya ketika ditemukan kebenaran baru. Sains, tidak berkeberatan bila kebenaran yang diungkapkannya, suatu saat nanti menjadi tidak benar atau ditolak dengan kebenaran ilmiah lainnya. sedangkan Ayat Suci Al-Qur’an menerapkan kebenaran sepenuhnya dalam setiap teksnya, dan sebagaiman ayat suci, akan selalu benar selamanya. Bila ayat-ayat suci bergantung pada klaim sains yang kebenarannya sementara atau menunggu dihancurkan kebenaran lainnya, bukankah kebenaran ayat suci akan ikut hancur bersama klaim sains? Itulah mengapa dalam beragama, sebagai muslim, tidak perlu sepenuhnya menyerahkan keimanan dan keyakinan pada klaim sains.
Bila kita beramai-ramai, bersorak bahwa kebenaran teks Al-Qur’an mendapatkan klaim sains sebagai kebenaran, lalu bagaiman nasib keimanan kita bila klaim sains tersebut ditolak kebenarannya dengan klaim sains lainnya? bukankah itu artinya kita menabung keraguan terhadap kebenaran Islam suatu saat nanti ketika beberapa klaim sains atas teks Al-Qur’an, keliru? Ketika kita menyakini sesuatu dan sesuatu itu mulai mengalami keraguan satu persatu, bukankah itu jalan yang lurus menuju keraguan sepenuhnya terhadap Islam sebagai kebenaran? Atau dalam kata lain, mempersiapkan diri untuk menjadi seorang—yang nantinya meragukan segalanya, dalam bahasa latin Omnibus dubitandum. Yakni menjadi seorang Atheis dalam akibat yang paling buruk. Untungnya, Islam tidak sesempit itu.
Tradisi Ilmiah hanyalah satu bagian dalam sejarah Intelektual muslim. Persoalan akal, berfikir, qolbu, intuisi, kebenaran, metodologi dan lainnya menunjukan luasnya epistemology dalam Islam. Kini, trend memakai teks Ayat Al-Qur’an untuk membela aktivitas sebagian kaum Muslim untuk tujuan-tujuan duniawi sempit sesungguhnya merendahkan keluhuran teks Al-Qur’an. Dalam keadaan paling hina, memakai teks Al-Qur’an untuk membela agenda-agenda politik yang tidak mungkin bersih dari ambisi politik itu sendiri, yang ternyata digunakan hanya untuk membuat jalan pintas agar agenda politiknya tidak perlu ditanyakan terlalu jauh dengan berhenti pada teks Al-Qur’an yang dipakainya. Mengatakan bahwa Al-Qur’an melarang pemimpin non-muslim/ kafir, perempuan tidak boleh menjadi pemimpin menurut Al-Qur’an, dan hanya melalui partai yang mampu menunjukan diri sebagai partai paling Islam, serta agenda politik tersebut adalah kepanjangan tangan dari penerapan teks Al-Qur’an dalam berpolitik. Sehingga setiap Muslim yang berbenturan dengan agenda politik kelompok tersebut terjebak seakan-akan dirinya sedang melawan Al-Qur’an.
Seakan-akan Islam satu-satunya agama yang hidup dibumi. Kita harus mengakui dengan runyamnya perangkat impor global yang kita pakai sehari-hari; kopi dari Brazil (Katolik Roma 75%), menonton Boliwwod India (Hindu 80,45%), memakan beras impor Vietnam (Atheis 80,8%), menggunakan Smartphone dan menyukai K-Pop Korea Selatan (Atheis 46,5%), memakai Komputer-Internet Amerika Serikat (Protestan 51,3%), daging sapi Australia (mengaku Kristen 64%), susu dari New Zeland (55,6% Kristen), perangkat dapur dari China ( Atheis 59% setelah Revolusi Kebudayaan Mao), elektronika dan kendaraan merk Jepang (Budha-Shinto 84%), teknologi Industri dari Jerman (Kristen 33%, Katolik 33, Atheis 30%), dan seterusnya; bukankah kita hidup berdampingan dan mendapatkan manfaat, memakai produk dari pemeluk agama lain? Bukankah kita kini harus menyadari bahwa, kita berbagi dunia dengan orang-orang yang hidup tanpa kebenaran Islam? Inilah mengapa kedatangan Dr Zakir tampak terlalu politis dan bisa dianggap sebagai upaya otoimunitas (bunuh diri) dalam keyakinan kita, para muslim, di Indonesia. Dr Zakir Naik, mungkin mampu menaikan tensi keimanan kita sekejap dengan klaim ilmiahnya. Namun, segera membuat kita ragu ketika beberapa klaim ilmiah menuju kodratnya, kebenaran yang suatu saat akan usai.
Bobliografi:
Borradori, Giovanna (Alfons Taryadi Penj). 2005. Filsafat dalam Masa Teror: Dialog Dengan jurgen habermas dan Jacques Derrida. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Marcuse, Herbert. 2007. One Dimension Man: Studies In The Ideology of Advanced Industrial Society. New York: Beacon Press
Anderson, Benecdict. 2002. imagined Communities: Reflection on The Origin And Spread of Nationalism.I Yogyakarta: Pustaka pelajar & Insist
Wahid, Abdurrahman. 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute.
Bourdieu, Piere. 1990. The Logic of Practice. California: Stamford University Press
[1] Dalam situs aslinya hizbut-tahrir.or.id, wacana Khilafah secara positif diurai dalam Page tersendiri “Seputar Khilafah”. Ada 25 page yang terkait khilafah, dalam setiap page hampir berisi 5 artikel HTI terkait khilafah. Semua tulisan terkait Khilafah berjumlah sekitar 125 tulisan. Bila memakai perangkat pencari berita, untuk kata kunci Khilafah, disitus tersebut disajikan hamper 5240 tulisan tentang khilafah. Lihat http://ift.tt/1QYX8fu dilihat pada pukul 11:17 PM tanggal 3/3/2016.
[2] Team, ed: Abdurahman Wahid, Ilusi Negara Islam: ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), hlm. 29
[3] Sejak tahun 2015, portal berita resmi PKS ini sudah memposting keberhasilan Dr Zakir. Lihat, http://ift.tt/2oLaZPm diposting tanggal 4/10/2015 dilihat pada pukul 11:30 PM tanggal 3/3/2016
[4] Sejak tahun 2014 Dalam situs aslinya hizbut-tahrir.or.id, sudah memuat berita tentang Biarawati yang masuk Islam setelah mendengar ceramah dan berdialog dengan Dr Zakir Naik. http://ift.tt/1tCZslk diposting tanggal 19/10/2014 dilihat pada pukul 11:48 PM tanggal 3/3/2016
[5] Ibid,
Dimuat di Islami.co April 5, 2017, Sindikasi Media Islam Ramah
Terima kasih Sobat sudah berkenan membaca :
Saat Zakir Naik Membunuh Keimanan Muslim
Kami rasa sudah cukup pembahasan Saat Zakir Naik Membunuh Keimanan Muslim untuk hari ini, Moga saja apa yang sudah Sobat baca dapat menambah wawasan dan wacana. Kami selaku Admin memohon maaf sebesar-besarnya bila terdapat kesalahan penulisan maupun kata-kata yang kurang berkenan, semoga kita dipertemukan di artikel berikutnya, Wassalamualaikum.
Baru saja selesai dibaca: Saat Zakir Naik Membunuh Keimanan Muslim link sumber: https://musilmislam.blogspot.com/2017/04/saat-zakir-naik-membunuh-keimanan-muslim.html
0 Response to "Saat Zakir Naik Membunuh Keimanan Muslim"
Posting Komentar